MIKROORGANISME DAN AKUAKULTUR
Identifikasi Masalah
Pada awalnya, wabah pes di Eropa pada tahun 1347-1350 yang dikenal sebagai black-plaque dan lepra pernah dianggap sebagai kerja sihir atau kutukan Tuhan, tetapi mikrobiologi mengungkapkan bahwa keduanya merupakan akibat infeksi mikroorganisme. Hingga sekarang, mikroorganisme menjadi salah satu sumber kekhawatiran dan masalah seperti dalam kasus HIV, SARS (severe acute respiratory syndrome), flu burung, anthrax, dan bio-terorism.
Seiring dengan semakin bertambahnya pencemaran yang terjadi di biosfer, maka kebutuhan untuk mengaplikasikan teknologi bioremidiasi juga semakin bertambah. Teknologi Bioremidiasi merupakan teknologi yang banyak digunakan dalam mengatasi permasalahan pencemaran yang terjadi di lingkungan, terutama di lingkungan litosfer dan hidrosfer. Bioremidiasi adalah aplikasi dari proses biologis untuk memulihkan suatu tempat yang tercemar dengan menggunakan mikroorganisme. Teknologi ini memiliki banyak keuntungan , namun yang paling utama adalah sustainable. Selain itu, teknologi ini juga memiliki kelemahan yaitu time-consuming jika teknologi ini digunakan untuk mengeliminasi pencemar yang non-biodegradable
Akuakultur saat ini menjadi kegiatan ekonomi yang penting dan saat ini menghadapi kendala yang penting yang mampu menimbulkan kerugian ekonomis yang besar, permasalahan itu adalah penyakit yang disebabkan bakteri pathogen. Di awal perkembangan akuakultur upaya yang dilakukan adalah menggunakan antibiotik sebagai upaya kemoterapi untuk menghilangkan penyakit. Hal ini dipraktekkan secara intensif di awal-awal perkembangan akuakultur bahkan penggunaannya berlebihan. Peningkatan penggunaan antibiotik pada akuakultur malah diikuti oleh bertambahnya penyakit patogenik dan seringkali hal ini sekarang dikaitkan dengan meningkatnya resistensi bakteri patogen terhadap bahan kimia (antibiotik). Kekhawatiran pun muncul dari aplikasi antibiotik pada ikan konsumsi terhadap manusia. Dari berbagai sumber ilmiah disimpulkan bahwa penggunaan antibiotik (seperti Quinolone, Tetracycline dll.) menyebabkan mutasi kromosom pathogen atau akuisisi plasmid.Berbagai solusi diupayakan antara lain vaksinasi, teknologi budidaya yang lebih baik, code of practices, best management practices dan lain sebagainya, tentunya membawa dampak positif pada perkembangan akuakultur. Penggunaan probiotik yang bekerja melalui mekanisme tertentu untuk melawan pathogen, saat ini dipandang sebagai langkah alternatif. Beberapa tahun terakhir probiotik yang sudah biasa digunakan pada manusia dan binatang mulai diaplikasikan kepada bidang akuakultur (Gatesoupe, 1999; Gomez-Gil et al., 2000; Verschuere et al., 2000; Irianto and Austin, 2002; Bache`re, 2003).Tujuan tulisan ini adalah untuk menjelaskan secara singkat prinsip dan mekanisme kerja probiotik.Istilah probiotik ditujukan terhadap bakteri yang mendukung kesehatan organisme lain. Probiotik sendiri dapat ditemukan di alam, diisolasi dan diidentifikasi serta diteliti sifat antagonistik terhadap pathogen secara in vitro. Ada beberapa mekanisme aksi terhadap bakteri pathogen yang dapat dijelaskan antara lain kompetisi eksklusif terhadap bakteri pathogen (contoh: Pseudomonas I2 terhadap beberapa vibrio pathogen udang) , sebagai sumber nutrien dan kontribusi enzim pada pencernaan ikan (contoh: Clostridium sp.), penyerapan material organik yang dimediasi oleh probiotik, serta meningkatnya immunitas ikan terhadap pathogen. Beberapa kandidat probiotik menunjukkan efek antivirus walaupun mekanisme kerja probiotik ini belum jelas akan tetapi eksperimen lab menunjukkan bahwa inaktivasi virus dapat dimediasi oleh substansi kimiawi dan biologis yang diekstrak dari algae maupun extra celullar agent dari bakteri. Beberapa strain Pseudomonas sp., Vibrio sp. dan Aeromonas sp. yang diisolasi dari hatchery salmon menunjukkan aktivitas antiviral terhadap virus IHNV dari salmon (Kamei, et. al. 1988). Sangat penting untuk mengetahui mekanisme kerja probiotik dalam menentukan kriteria untuk probiotik yang berguna untuk mencegah berkembangnya pathogen. Studi yang mendalam masih harus terus dikaji antara lain pengaruh probiotik secara in vivo, pengembangan teknologi molekular untuk seleksi probiotik dan juga untuk lebih memahami kinerja, komposisi dan fungsi dari probiotik
Budidaya/aquakultur yang berlokasi di daerah pesisir sangat berhubungan dengan kondisi tata ruang, sosial budaya, keamanan dan ekonomi masyarakat pesisir tersebut. Oleh karena itu pendekatan pemecahan masalah pedu digarap secara terintegrasi. Pada saat itu sudah waktunya untuk melaksanakan pendekatan dan isu bagi pembangunan budidaya yang lestari dan bertanggungjawab melihat kenyataan bahwa produksi udang di tanah air menurun drastis akibat dari kesalahan pengelolaan. Para pengusaha tambak udang mulai meninggalkan lahannya begitu saja karena menderita rugi terus menerus.
Pemahaman terhadap budidaya yang berkelanjutan perlu dikumandangkan di berbagai pihak, pemerintah perlu menetapkan tindakan tindakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan peraturan yang berkenaan dengan pengelolaan kawasan pesisir. Pendekatan yang seimbang dan terinformasi dapat dilakukan untuk memusatkan isu-isu perhatian terhadap konsep pembangunan budidaya yang berwawasan lingkunagn dan bertanggungjawab. Penyiapan lingkungan yang kondusif untuk pembangunan budidaya berkelanjutan adalah merupakan tangungjawab bersama, baik pemerintah berikut lembaga-lembaganya, para ilmuwan sosisl dan pengetahuan alam. Media massa, lembaga keuangan, kelompok kepentingan khusus termasuk asosiasi sosial dan sektor swasta produsen budidaya, pabrik serta penyedia masukan, pengolah dan pedagang akuakultur.
Secara praktis di lapangan, pemecahan permasalahan tersebut di atas dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan antara lain pemilihan lokasi yang tepat, pemilihan spesies, dan pemilihan teknologi.
Saat ini mikrobiologi sudah berkembang pesat, penelitian-penelitian sudah mencapai tataran molekuler yang rumit, meskipun penelitian dasar dan atau “konvensional” masih tetap diperlukan. Hal ini tak terlepas dari kenyataan bahwa hingga saat ini kurang dari 5% dari keseluruhan mikroorganisme yang sudah diketahui. Banyak spesies mikroorganisme tidak atau belum mampu dikultivasi dilaboratorium tetapi tetap mampu dikenali karakternya melalui teknologi penyisipan fragmen DNA ke plasmid bakteri yang mudah dikultivasi.
Bacillus merupakan contoh bakteri dengan keragaman jenis dan potensi yang cukup tinggi. Sebagai gambaran, dari 10 area terlindungi di Jawa seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Gede-Pangrango, Merubetiri dan Baluran, dengan mengambil secara acak cuplikan tanah dan air dari area tersebut, Irianto et al. (1998) mendapatkan ratusan isolat. Masing-masing isolat dapat dikembangkan untuk penelitian beragam aspek seperti enzim, produksi senyawa antibiotik, kemampuan mengikat logam berat, dan potensinya untuk bioremediasi.
Bacillus telah digunakan pula untuk memproduksi tanaman transgenik melalui penyisipan gen yang mengekspresikan produksi ß-endotoxins (Cry proteins) dari Bacillus thuringiensis ke tanaman (Bt crops) sehingga tahan hama larva Lepidoptera dan Coleoptera. Pada tahun 2004 tanaman kapas dan jagung transgenik telah dikembangkan pada 22,4 juta hektar area di seluruh dunia.
Pendekatan Pemecahan Masalah
Akuakultur saat ini menjadi kegiatan ekonomi yang penting dan saat ini menghadapi kendala yang penting yang mampu menimbulkan kerugian ekonomis yang besar, permasalahan itu adalah penyakit yang disebabkan bakteri pathogen. Di awal perkembangan akuakultur upaya yang dilakukan adalah menggunakan antibiotik sebagai upaya kemoterapi untuk menghilangkan penyakit. Hal ini dipraktekkan secara intensif di awal-awal perkembangan akuakultur bahkan penggunaannya berlebihan. Peningkatan penggunaan antibiotik pada akuakultur malah diikuti oleh bertambahnya penyakit patogenik dan seringkali hal ini sekarang dikaitkan dengan meningkatnya resistensi bakteri patogen terhadap bahan kimia (antibiotik). Kekhawatiran pun muncul dari aplikasi antibiotik pada ikan konsumsi terhadap manusia. Dari berbagai sumber ilmiah disimpulkan bahwa penggunaan antibiotik (seperti Quinolone, Tetracycline dll.) menyebabkan mutasi kromosom pathogen atau akuisisi plasmid.Berbagai solusi diupayakan antara lain vaksinasi, teknologi budidaya yang lebih baik, code of practices, best management practices dan lain sebagainya, tentunya membawa dampak positif pada perkembangan akuakultur. Penggunaan probiotik yang bekerja melalui mekanisme tertentu untuk melawan pathogen, saat ini dipandang sebagai langkah alternatif. Beberapa tahun terakhir probiotik yang sudah biasa digunakan pada manusia dan binatang mulai diaplikasikan kepada bidang akuakultur.
Probiotik sendiri dapat ditemukan di alam, diisolasi dan diidentifikasi serta diteliti sifat antagonistik terhadap pathogen secara in vitro. Ada beberapa mekanisme aksi terhadap bakteri pathogen yang dapat dijelaskan antara lain kompetisi eksklusif terhadap bakteri pathogen (contoh: Pseudomonas I2 terhadap beberapa vibrio pathogen udang) , sebagai sumber nutrien dan kontribusi enzim pada pencernaan ikan (contoh: Clostridium sp.), penyerapan material organik yang dimediasi oleh probiotik, serta meningkatnya immunitas ikan terhadap pathogen. Beberapa kandidat probiotik menunjukkan efek antivirus walaupun mekanisme kerja probiotik ini belum jelas akan tetapi eksperimen lab menunjukkan bahwa inaktivasi virus dapat dimediasi oleh substansi kimiawi dan biologis yang diekstrak dari algae maupun extra celullar agent dari bakteri. Beberapa strain Pseudomonas sp., Vibrio sp. dan Aeromonas sp. yang diisolasi dari hatchery salmon menunjukkan aktivitas antiviral terhadap virus IHNV dari salmon. Sangat penting untuk mengetahui mekanisme kerja probiotik dalam menentukan kriteria untuk probiotik yang berguna untuk mencegah berkembangnya pathogen. Studi yang mendalam masih harus terus dikaji antara lain pengaruh probiotik secara in vivo, pengembangan teknologi molekular untuk seleksi probiotik dan juga untuk lebih memahami kinerja, komposisi dan fungsi dari probiotik. Efisiensi penerapan probiotik dalam akuakultur akan sangat bergantung dari pengetahuan spesies dan atau strain dari bakteri probiotik ini. Kajian aplikasi bioremediasi senyawa toksik perairan tambak dilakukan di Grinting, Brebes. Kajian menggunakan petak tambak dengan perlakuan pemberian mikroba pengurai bahan pencemar organic dan petak tambak tanpa perlakuan. Selanjutnya selama periode budidaya dilakukan pengamatan intensif terhadap beberapa parameter kualitas air yang merupakan indikator perubahan akibat aplikasi mikroba tersebut. Hasil kajian sementara menunjukkan bahwa kajian teknologi bioremediasi dengan sistem resirkulasi air memberikan kondisi yang positif bagi kualitas air tambak. Berdasarkan data kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang erat antara hasil kajian ini dengan hasil kajian sebelumnya. Antara lain ditunjukkan oleh jumlah individu ikan udang yang hidup semakin meningkat dari 600 individu pada Petak B menjadi 1800 individu pada Petak A. Namun demikian, hasil kajian masih perlu ditingkatkan agar diperoleh suatu kelayakan teknis, sederhana, murah, sehingga dapat dilakukan oleh petambak sekalipun
Dalam akuakultur, mikroorganisme berperan antara lain dalam hal pakan, lingkungan, penyakit dan pengendaliannya, dan pengolahan atau penanganan produk. Akibat harga tepung ikan yang mahal, banyak ahli mencari alternatif antara lain berupa bahan nabati seperti kedele. Tetapi adanya toksikan, karbohidrat sulit cerna yang tinggi dan kandungan sejumlah asam amino yang rendah sering menjadi kendala. Usaha yang dilakukan untuk mengatasinya antara lain melalui fermentasi dan atau suplementasi sel mikroba. Fermentasi asam laktat pada kedele terbukti menghilangkan kandungan sukrosa, menurunkan kadar rafinosa, aktivitas penghambat tripsin dan faktor penghambat absorpsi lemak. Adapun fermentasi dengan Aspergillus oryzae terbukti meningkatkan kadar protein dan kadar peptida berukuran kecil (<20> sebagai media pembawa probiotik yang dikenal dengan istilah “bioenkapsulasi” yang terbukti meningkatkan imunitas terhadap patogen dan stres. Peningkatan kualitas pakan melalui produksi “biofilm” juga terbukti meningkatkan imunitas dan produksi ikan. Biofilm merupakan komunitas mikroorganisme tidak bergerak (sessile) yang ditandai oleh sel-sel yang melekat pada suatu substrat atau lapisan interfase atau melekat satu sama lain secara tetap, oleh suatu matriks senyawa polimer ekstraseluler yang mereka produksi. Fermentasi pakan mampu mengurai senyawa kompleks menjadi sederhana sehingga siap digunakan larvae, dan sejumlah mikroorganisme diketahui mampu mensintesa vitamin dan asam-asam amino tertentu yang dibutuhkan oleh larvae hewan akuatik. Fermentasi Bacillus circulans terhadap campuran tepung ikan, mustard oil cake, rice bran, minyak hati ikan cod, dan premix vitamin selama 4-5 hari mampu memberikan kecukupan gizi, dan survivalitas serta pertumbuhan larvae yang lebih baik.
Mikroba juga dapat berperan sebaliknya yaitu merusak bahan pakan, misalnya Aspergillus flavus yang menghasilkan aflatoksin dan Fusarium moniliforme yang menghasilkan fumonisin B1 (FB1 ). Kedua toksikan tersebut diketahui merugikan kesehatan ikan dan udang dan bersifat karsinogenik terhadap manusia. Residu antibiotik dan pestisida tidak selalu datang dari aktivitas akuakultur tetapi dapat berasal dari luar lingkungan akuakultur. Antibiotik dapat berasal dari aktivitas pengendalian penyakit yang tidak terkendali akibat kurangnya pemahaman, atau pelaksanaan yang tidak bertanggung jawab. Pada kasus dimana kuantitas cemaran materi organik cukup tinggi, maka dapat dilakukan proses “bioaugmentasi” dan atau “biostimulasi”. Pencemaran perairan dapat menyebabkan gangguan yang serius pada hewan akuatik, antara lain peningkatan frekuensi wabah penyakit, penghambatan aktivitas beragam enzim, gangguan reproduksi dan sejumlah kelainan fisiologis lainnya.
Konsep Teoritis
Bioremidiasi didefinisikan sebagai penggunaan organism hidup, terutama mikroorganisma, untuk mendegradasi pencemar lingkungan yang merugikan ketingkat atau bentuk yang lebih aman. Proses bioremidiasi ini dapat dilakukan secara bioaugmentasi yaitu penambahan atau introduksi satu jenis atau lebih mikroorganisma baik yang alami maupun yang sudah mengalami perbaikan sifat (improved/genetically engineered strains), dan biostimulasi yaitu suatu proses yang dilakukan melalui penambahan zat gizi tertentu yang dibutuhkan oleh mikroorganisma atau menstimulasi kondisi lingkungan sedemikian rupa (misalnya pemberian aerasi) agar mikroorganisma tumbuh dan beraktivitas lebih baik. Penggunaan beragam spesies mikroorganisma untuk bioremidiasi telah sedemikian luas dan digunakan untuk mengatasi beragam pencemar baik organik maupun anorganik, termauk Proses bioremidiasi seringkali diterapkan dalam bentuk interaksi tumbuhan-mikroorganisma ( bioremidiasi fito-mikrobial) misalnya penggunaan Pseudomonas putida yang berasosiasi dengan gandum (Triticum aestivum) untuk mengatasi 2,4-D dan Mesorhizobium huakuii dengan Astragalus sinicus untuk mengatasi cemaran Cd .Usaha menjaga kualitas air oleh pembudidaya dapat dilakukan dengan tetap mengacu bioremidiasi. Proses ini dapat dilakukan dengan mengkombinasikan sistim penyaringan penyaringan pasir lambat dan biofilter. Biofilter pada skala yang besar dapat diwujudkan dalam bentuk lahan basah (wetland) alami, semi alami dan buatan (constructed wetland).Bioaugmentasi mikroorganisma seperti Bacillus spp. dapat membantu mengurai materi organic dan/atau optimasi biofilter melalui pembentukan biofilm atau asosiasi dengan akar tumbuhan air. Lahan basah alami, misalnya lahan mangrove, telah dibuktikan peranannya dalam pengendalian pencemaran dari tambak seluas 286 ha melalui resirkulasi ke lahan mangrove seluas 120 ha mampu mengurangi padatan terlarut secara signifikan. Menurut Pillay (1990) untuk keperluan akuakultur yang berkelanjutan, setiap satu hektar hutan mangrove yang diolah menjadi tambak, sekurangnya 3 hektar tetap dibiarkan sebagai hutan. Rivera-Monroy et al. (1999) memperhitungkan bahwa untuk mentransformasi nitrogen anorganik terlarut dari 1 ha tambak diperlukan lahan mangrove seluas 0,04-0,12 ha. Lingkungan mangrove diketahui memiliki komponen biotik yang beragam dan khas, termasuk di dalamnya mikroorganisma. Adapun pada saringan pasir lambat, peran biofilter dilakukan oleh mikroorganisma yang membentuk biofilm pada permukaan substrat dan mengurai materi-materi organik terlarut yang mengalir bersama air dan menurunkan kadar amonia secara cepat sehingga memperbaiki kualitas air. Optimasi biofilter dapat dilakukan dengan kultivasi tumbuhan air (makrofit) seperti Typha latifolia (ekor kucing), Eichornia crassipess (eceng gondok), Lemna spp. (duck weed), dan Scirpus validus untuk air tawar dan penggunaan makrofit seperti Gracillaria dan Ulva untuk air laut. Sejumlah penelitian menunjukkan optimasi penanganan air limbah akuakultur menggunakan kombinasi antara grazer animals misalnya tiram (Saccostrea commercialis), Ciliata dan alga makrofit misalnya Gracillaria edulis, secara signifikan memperbaiki kualitas air limbah baik pada sistim resirkulasi maupun non-resirkulasi ditunjukkan oleh penurunan populasi bakteri, fitoplankton dan bahan padat tersuspensi. Ttumbuhan air mampu meningkatkan penguraian materi limbah 2-3 kali lebih banyak. karena perakaran tanaman menjadi tempat yang ideal bagi mikroorganisma yang berperan dalam dekomposisi atau biodegradasi, absorpsi mineral oleh tanaman, presipitasi dan mineralisasi. Kehadiran mikroorganisma dalam jumlah tinggi di sekitar perakaran tidak terlepas dari mekanisma pompa oksigen yang dilakukan tanaman, yang mampumen transfer oksigen ke rhizosfer. Keberhasilan akuakultur tergantung kepada sejumlah faktor, antara lain kualitas air. Penurunan kualitas air akan menghambat pertumbuhan dan menurunkan derajat imunitas ikan terhadap penyakit. Penerapan sistim tertutup (close system) atau resirkulasi diyakini mampu mengatasi permasalahan kualitas air dan pencemaran produk perikanan oleh bahan berbahaya, proses semacam dapat dilakukan hingga 11 tahun dengan penggunaan air laut yang sama sebagaimana dilakukan di Distrik Banpho, Thailand. Air laut yang sudah digunakan dialirkan ke dalam kolam mangrove yang ditanami dengan algae makrofita untuk keperluan sedimentasi dan dekomposisi materi organik. Air laut selanjutnya digunakan untuk pemeliharaan Artemia, dilanjutkan dengan mengalirkan ke dalam bak penampungan untuk pengaturan salinitas dan kualitas air lainnya sebelum digunakan untuk budidaya udang Penaeus monodon. Usaha tersebut berhasil menekan biaya operasional secara signifikan, menekan penggunaan obat- obatan dan khemikalia, dan menghasilkan pendapatan tambahan dari Artemia dan algae makrofit yang dipanen.
Prosedur Aplikasi Dan Pengembangan
Perputaran karbon di alam tergantung reaksi katabolik mikroorganisme. Biodegradasi hidrokarbon ini merupakan proses kompleks, yang aspek kuantitatif dan kualitatifnya tergantung kepada sifat alami dan jumlah hidrokarbon tersebut, kondisi lingkungan, dan komponen komunitas mikroba (Leahy and Colwell, 1990; Nicholson et al., 1992).
Kapasitas mikroorganisme untuk mendegradasi secara alami bahan organik yang telah dilakukan jutaan tahun, sekarang ditantang dengan bahan kimia sintetik yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja dimasukkan ke dalam lingkungan (Portier, 1991; Semple and Cain, 1996). Bioremidiasi
merupakan teknik yang potensial untuk membersihkan daerah terkontaminasi bahan pencemar (Blasco et al., 1997; Laine and Jorgensen, 1996).
Teknologi bioremidiasi secara sederhana merupakan usaha untuk mengoptimalkan kemampuan alami mikroorganisme untuk mendegradasi/mendaur ulang dengan memberikan reaktan anorganik esensial dan meminimumkan tekanan abiotik (Portier, 1991). Teknologi ini sangat berguna dan dapat digunakan pada berbagai tahapan perlakuan. Terdapat tiga prinsip dalam teknologi bioremidiasi, yaitu pelepasan langsung mikroba kelingkungan terkontaminasi, peningkatan kemampuan mikroba indigenous (asli), dan penggunaan mikroba dalam reaktor khusus (Portier, 1991).
Biodegradasi hidrokarbon oleh komunitas mikroba tergantung pada komposisi komunitas dan respon adaptif terhadap kehadiran hidrokarbon (Leahy and Colwell, 1990). Laju biodegradasi senyawa hidrokarbon kompleks dengan berat molekul besar seperti senyawa aromatik, resin, dan asfalten lebih lambat dibandingkan dengan senyawa dengan berat molekul rendah. Meski demikian beberapa studi menunjukkan bahwa degradasi pada kondisi optimum terhadap senyawa kompleks memiliki laju yang tinggi (Leahy and Colwell, 1990). Demikian juga dengan fenol dan klorofenol (Nicholson et al., 1992).
Salah satu bahan pencemar yang sering menimbulkan masalah adalah hidrokarbon aromatis. Hidrokarbon yang sering dijumpai, terutama di perairan,adalah fenol dan derivatnya dari karbonisasi batubara, bahan kimia sintetik, dan industri minyak (Semple and Cain, 1996). Senyawa fenolik ini merupakan polutan berbahaya (Dong et al. 1992). Fenol alami dapat dijumpai di berbagaitanaman. Tanin merupakan suatu kelompok senyawa polifenolik yang biasanya merupakan komponen tumbuhan, dan terdiri dari 2 kelas utama, yaitu yang terkondensasi dan hidrolisat. Disamping itu tumbuhan menghasilkan lignin yang merupakan kelompok polifenol sekerabat dengan tanin yang sangat sulitdidegradasi oleh bakteri (Gamble et al., 1996).
Akaukultur mengalami kerugian yang cukup besar akibat serangan penyakit infeksi dan parasit. Salah satu peristiwa nasional yang menyebabkan kerugian yang sangat besar dalam akuakultur telah dialami Indonesia pada awal tahun 1994 akibat serangan White Spot Syndrome Virus (WSSV) yang menyerang udang, serta pada tahun 2002 akibat Koi Herpes Virus (KHV) pada ikan mas dan koi (Cyprinus carpio). Selama ini pengendalian penyakit masih mengandalkan disinfektan dan antibiotik. Pada waktu lampau, penggunaan senyawa antibiotik untuk tindakan sub-terapetik seperti pencegahan penyakit (prophylactic) dan memacu pertumbuhan hewan budidaya, sangat umum dilakukan. Penggunaan antibiotika semacam ini termasuk tidak bijaksana, begitu pula dengan penggunaan dalam dosis tinggi, jenis sangat beragam, penggunaan dalam jangka waktu lama dan penggunaan jenis yang tidak dapat diurai secara biologis (non biodegradable). Hal ini telah merugikan masyarakat dari aspek keamanan pangan dan kesehatan masyarakat karena residu antibiotik akan tetap berada pada produk hewan hingga jangka waktu tertentu dan menyebabkan tekanan selektif pada mikroorganisma, memacu munculnya resistensi pada beragam bakteri dan memungkinkan transfer gen-gen resisten ke bakteri lainnya dan secara ekonomi telah terbukti merugikan pelaku usaha akuakultur sendiri akibat penolakan konsumen
Usaha untuk menjaga kualitas air ataupun tanah dapat menggunakan bantuan dari bakteri-baktei yang mampu mendegradasi senyawa anorganik melalui kuartet/penggabungan bakteri-bakteri. Konsorsium bakteri ini dimasukkan dalam tambak dua minggu sebelum bibit ditebar, selanjutnya setiap 10 hari sampai masa panen. Tiap satu hektare tambak memerlukan 120 liter tiap 10 hari selama dua bulan pertama. Selanjutnya sampai bulan keempat, dinaikkan dua kali lipat dengan konsentrasi yang sama.
Percampuran kultur bakteri ini dilakukan dengan perbandingan bakteri heterotrofik, bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi, serta bakteri fotosintetik anoksigenik sebesar 3 : 2 : 1.
1. Bakteri denitrifikasi dan nitrifikasi untuk mengendalikan nitrogen, amoniak, nitrat, dan nitrit yang ada di tambak.
2. Bakteri fotosintetik anoksigenik untuk mengatur hidrogen sulfida (H2S) dan sebagai pakan tambahan karena banyak mengandung karotenoid.
3. Bakteri heteroptrofik untuk mengontrol karbon dan senyawa organik dari sisa pakan.
4. Bakteri fermentasi untuk menghilangkan senyawa organik dengan cepat karena punya sifat proteolitik.
- Bakteri nitrifikasi
Dari 13 isolat, berhasil diseleksi empat isolat yang potensial menghilangkan senyawa amoniak.
Masa inkubasi: 3-5 hari.
- Bakteri denitrifikasi
Dari 14 sampel sedimen tambak PT Indokor-Serang, Teluk Naga-Tangerang, dan Moramo-Kendari, telah diisolasi 15 isolat bakteri. Hasil seleksi, tiga isolat potensial menghilangkan senyawa nitrit dan nitrat. Masa inkubasi: 3-5 hari.
- Bakteri fotosintetik anoksigenik
Dari 10 isolat, hanya satu yang bagus untuk menghilangkan H2S dan satu lagi potensial menjadi sumber karotenoid pakan tambahan. Masa inkubasi: 5-7 hari.
- Bakteri Heterotrofik
Dari lima isolat bakteri heterotrofik, yang potensial hanya satu. Masa inkubasi: 2-3 hari.
Kesimpulan
Bahwa mikroorganisme sangat banyak manfaatnya sehingga perlu adanya perhatian khusus dan lebih mendalam terutama tentang siklus transport nutrient dalam akuakultur yang nantinya pasti akan sangat berpengaruh terhadap hasil kesehatan organisme yang terkait. Selain itu kajian teknologi bioremediasi dengan sistem resirkulasi air memberikan kondisi yang positif bagi kualitas air tambak.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.google.co.id/search?q=sumber+pencemaran+tambak&hl=id&start=10&sa=N
http://akuakultur.wordpress.com/
http://www.tempointeraktif.com/